Kamis, 17 September 2009

Rukyat Idul Fitri 1430 H

RUKYAT HILAL 1 SYAWAL 1430 H.
Oleh Drs. H. Sofwan jannah, M Ag.*

Memulai dan mengakhiri ibadah Ramadan nampaknya tidak mudah untuk dipersatukan dalam waktu singkat, karena salah satu alasannya perjalanan ilmu Hisab yang berkembang di Indonesia dan dunia internasional masih relatif muda. Apalagi dalam kalender Nasional tahun 2009 tercantum libur idul Fitri 1430 adalah hari Senin dan Selasa 21 dan 22 September 2009.
Informasi hari libur idul Fitri 1430 H. tersebut bagi orang awam sangat membingungkan, meskipun dalam kalender Departemen Agama secara jelas mencantumkan tanggal 1 Syawal 1430 H pada hari Ahad 20 September 2009.

Kalender Masehi telah Baku
Kalender Masehi kini telah baku dan tidak ada perbedaan lagi. Akan tetapi, jika dikaji berdasarkan sejarah, kalender Masehi pernah dikoreksi berdasarkan keputusan konsili Nicea pada tahun 324 Masehi, yaitu: ada pengurangan 2 hari tepatnya pada tanggal 24 Februari 324 M. hanya saja koreksi ini tidak populer dan tidak diberlakukan dalam sejarah kalender Masehi.
Perubahan yang mendasar dalam kalender Masehi terjadi berdasarkan dekrit Paus Gregorius XIII pada tanggal 4 Oktober 1582 M. yang mengumumkan agar keesokan harinya dibaca tanggal 15 Oktober 1582 M. (Dengan demikian, tanggal 5 s.d. 14 Oktober 1582 tidak pernah ada di muka bumi ini). Di samping itu dibuat aturan baru yaitu, setiap tahun abad penuh (1600, 1700, 1800, 1900, atau 2100, dan seterusnya dapat menjadi tahun kabisat apabila habis dibagi 400).
Dengan demikian, untuk tahun 1700, 1800, 1900, dan tahun 2100 tetap menjadi tahun pendek (Basitah). Akibat dari dekrit paus Gregorius ini tidak segera dipatuhi oleh masyarakat internasional, misalnya di Belanda baru berlaku tahun 1583, Inggris pada tahun 1752, Jepang tahun 1873, Cina baru berlaku tahun 1912, dan Turki pada tahun 1927 M. Oleh karena itu dapat dibayangkan betapa repotnya jika terjadi pada masa globalisasi sekarang ini.
Kalender Hijriyah baru berjalan 1430 tahun, karena itu wajar jika dalam praktiknya ada perbedaan-perbedaan, dibandingkan dengan perjalanan kalender Masehi yang sampai dipenghujung abad 16 bahkan sampai abad ke 20 masih ada dualisme pemakaian kalender Masehi.
Kalender Hijriyah diciptakan Khalifah Umar ibn Khattab pada dasarnya hanya untuk keperluan administrasi. Ternyata sampai sekarang belum ada koreksi. Akan tetapi, jika untuk kegiatan ibadah ada kendala teologis, karena ada perbedaan pemahaman terhadap teks Hadis Rasulullah saw.
Oleh karena itu, untuk penyatuan pemahaman pemakaian kalender Hijriyah, perlu memadukan hasil hisab dengan rukyat di lapangan. Sebagai contoh akan dipaparkan hasil hisab dengan POB Pelabuhan ratu sebagai central Rukyat hilal di Indonesia yang diakui komunitas ahli rukyat di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunai.


HISAB AWAL BULAN SYAWAL 1430 H. DATA EPHEMERIS HISAB RUKYAT
(Sabtu Kliwon 19 September 2009 M.)

Lintang (φ) Pelabuhanratu = - 7° 01' 44.60"
Bujur (l) Pelabuhanratu = 106° 33' 27.80"
Bujur (l) WIB = 105
Dip (Elevation) = 52.685 m

Ijtima' = 25j 45m 35.71d = 1j 45m 35.71d WIB (20-09-’09)
δ matahari = 1° 20' 11.60"
eq.of time = 0j 06m 13.83d
h matahari = - 1° 03' 11.81"
t matahari = 90° 53' 48.11"
Magrib = 17j 51m 7.52d WIB
δ bulan = - 6° 31' 06.37"
t bulan = 84° 32' 27.35"
h bln hakiki = 6° 10' 58.17"
h bln mar'i = 5° 18' 09.63"
Azimut matahari = 271° 13' 01.17"
Azimut bulan = 264° 09' 47.66"
Posisi bulan = 7° 03' 13.51" (di Selatan Matahari)
Dari hasil Hisab tersebut, diketahui tinggi hilal pada malam Ahad telah mencapai 5° 18' 09.63" di ufuk Mar’i dengan posisi 7° 03' 13.51" di Selatan Matahari. Keadaan posisi hilal yang cukup tinggi tersebut akan sangat mudah untuk dirukyat.
Untuk itu hasil hisab tersebut dapat dibuktikan di lapangan dengan visualisasi dan bentuk hilal akan terlihat seperti gambar terlampir, agar mudah dipraktikkan oleh masyarakat awam di manapun berada dalam bentuk rukyat di lapangan, karena pada dasarnya posisi hilal di Indonesia, kedudukannya hampir sama, kecuali ada hilal yang lebih rendah seperti yang terjadi di Indonesia bagian Timur dan Tengah.

Hilal 7° di Selatan Matahari dan tingginya 5° 18'

Bentuk hilal dari Pelabuhanratu Sukabumi

Hilal Insya Allah dapat dirukyat di wilayah Indonesia
Indonesia dengan luas wilayah yang memanjang dari Merauke sampai Sabang memiliki peluang yang besar untuk melihat hilal yang sudah wujud dan kedudukannya yang tinggi di atas ufuk mar’i.
Hasil hisab dari berbagai sistem yang berkembang di Indonesia, yang dapat dihimpun oleh BHR (Badan Hisab Rukyat) Depatemen Agama RI. ada 18 sistem. Dari semua system tersebut hasilnya di atas criteria imkan rukyat (di atas 2°), sebagaimana lampiran berikut:

Atas dasar hasil hisab dan pengalaman rukyat di Indonesia, maka kedudukan hilal yang sudah di atas criteria imkan rukyat tersebut sudah dapat “dipastikan” akan dapat dirukyat, sehingga hasil hisab dan rukyat akan ketemu dalam bersatunya hari Raya Idul Fitri 1430 H. yaitu hari Ahad tanggal 20 September 2009 M.
Semoga dengan observasi atau rukyat yang dilakukan bersama-sama masyarakat muslim, dapat menyemarakkan syiar Islam, sekaligus dapat menjalin persatuan dan kesatuan dalam beribadah dan bernegara dapat tercapai. Amin.
Yogyakarta, 15 September ‏2009


Drs. H. Sofwan Jannah, M Ag.






* Dosen FIAI UII jurusan Syari’ah dan Anggota BHR (Badan Hisab Rukyat) pusat dan DIY

Minggu, 03 Mei 2009

Ferifikasi Arah Kiblat Masjid di Banten

Ferivikasi Arah Kiblat Masjid di Banten
dengan Bayangan Matahari
Drs. Sofwan Jannah, M Ag.*

Kepedulian kaum muslimin terhadap syarat sahnya solat, yaitu menghadap ke arah kiblat perlu digalakkan kembali. Hal ini karena ada kecemasan di kalangan umat Islam Indonesia yang mendapat informasi dari mass media bahwa ada 200 masjid di sekitar Masjidil Haram arah kiblatnya tidak tepat.
Kecemasan itu sangat beralasan, karena di Mekah saja terjadi kekurangpedulian terhadap arah kiblat, apalagi bagi Umat Islam yang jaraknya sangat jauh dari Baitullah (Masjidil Haram Mekkah), sehingga diprediksi perhatiannya terhadap arah kiblat sebagai salahsatu syarat sahnya solat sangat mungkin terabaikan.
Dugaan tersebut sangat beralasan karena berdasarkan hasil survey beberapa peneliti, baik di Palembang, Jawa Barat, Yogyakarta, dan yang terakhir di wilayah Banten, tepatnya di wilayah Serang, Kasemen, Kramat watu, Cilegon, Bojonegara, Ciruas, Pontang, dan Tirtayasa dengan sampel lebih dari 100 Masjid dan Musolla. Arah kiblatnya yang tepat ke arah masjidil Haram hanya sekitar 24%. Dengan demikian, sebagian besar arah kiblat Masjid dan Musolla di wilayah Banten banyak yang tidak tepat ke arah Ka’bah di Masjidil Haram Mekah.
Dr Saad Mousa Al-Mousa, salah seorang staf pengajar di Fakultas Syariah Universitas Ummul Qura Mekah, menyatakan: bahwa bagian Administrasi Masjid (Takmir) memiliki tanggung jawab untuk menentukan arah kiblat, karenanya mereka perlu memperoleh pelatihan secara khusus untuk menentukan arah kiblat yang tepat dan benar.
Permasalahannya sekarang siapakah yang bertanggung jawab memberikan pelatihan untuk menentukan arah kiblat yang tepat dan benar tersebut? Pemerintah Daerah, Departemen Agama, Majlis Ulama, STAIN, IAIN, atau UIN? Belum lagi bagi masyarakat muslim yang solatnya di rumah-rumah, sebab jika Masjid atau Musolla yang dijadikan acuan saja Keliru arah Kiblatnya, tentunya yang mengacu pun akan salah juga arah kiblatnya.
Sebagai contoh yang sangat kongkrit dapat diperhatikan kiblat Masjid Agung Banten, arah kiblatnya mengarah ke Afrika Selatan, tepatnya menjauhi ka’bah sebanyak 1.750,56 Km. Hal ini karena jarak antara Masjid Agung Banten ke Ka’bah adalah 7.844,81 Km. Akibatnya jika terjadi penyimpangan satu derajat saja akan mencapai 136,93 Km, menjauhi ka’bah. (perhatikan visualisasi arah kiblat Masjid Agung Banten) berikut:



Garis bagian atas ke arah kiblat (Masjidil Haram), sedangkan garis bagian bawahnya ke arah Afrika Selatan



Garis putih (atas) menunjukkan ke arah Kiblat (Ka’bah) sedangkan garis kuning (bawah) ke arah Afrika Selatan.
Arah kiblat yang menjadi syarat sahnya solat pada dasarnya dapat diketahui dengan cara yang sederhana, jika kita memiliki kepedulian terhadap arah kiblat, sebagai bukti ada beberapa masjid yang sudah tepat arah kiblatnya, seperti Masjid As Sauroh, Masjid Baitul Mukminin (sebelah timur) Kramat watu, Masjid Cibeber, dan Masjid Citangkil.
Cara yang sederhana untuk mengetahui arah kiblat adalah dengan mengamati bayangan Matahari pada saat berada di atas Ka’bah (Rasydul Kiblat), pada umumnya terjadi pada tanggal 27 atau 28 Mei pukul 16 17 WIB dan 15 atau 16 juli pukul 16 27 WIB.
Pada tanggal dan saat itu kita cukup melihat setiap benda tegak, maka bayangannya akan menunjukkan ke arah kiblat. Namun untuk mengantisipasi kalau pada tanggal 27 atau 28 Mei terjadi mendung atau hujan, maka diperlukan perhitungan dengan cara lain, yaitu dengan perhitungan terhadap bayangan matahari yang akan menunjukkan ke arah kiblat, yaitu pada tanggal sebelum atau sesudah peristiwa matahari melintasi di atas Ka’bah (Rasydul kiblat) yang akan terjadi pada hari Rabu, tanggal 27 Mei 2009 tersebut. Adapun beberapa hari sebelum dan sesudah Rasydul Kiblat dapat diperhatikan tabel berikut:
Catatan: Petunjuk waktu harap dikalibrasi dengan petunjuk waktu yang disiarkan RRI pk. 07.00 WIB atau hubungi telepon: 103, maka akan ada informasi pukul berapa saat 103 dihubungi.

Kompas Sajadah sebuah alat ukur Mengetahui Arah Kiblat
Kompas sajadah atau disebut kompas Kiblat yang banyak beredar di pasaran, sebaiknya jangan dipakai sebagai pedoman mengetahui arah kiblat. Hal ini karena petunjuk yang menyertai kompas tersebut sangat menyesatkan.
Kompas tersebut menggunakan skala 400 dan dari amatan dan penelitian yang dilakukan pihak Departemen Agama dan telah dikritisi dan ditulis dalam Buku Pedoman Penentuan Arah kiblat hlm 55-57. Rata-rata penyimpangannya 2.5 derajat, bahkan untuk kota tertentu penyimpangannya mencapai 20 derajat (hlm. 56).
Berdasarkan amatan penulis setelah mencoba mempelajari buku pedoman penggunaan kompas kiblat, ternyata system penentuan kiblat yang dipakainya adalah ilmu ukur segitiga datar, padahal untuk menentukan arah kiblat secara akurat dan benar semestinya memakai kaidah ilmu ukur segitiga bola, karena kita berada dipermukaan Bumi yang relative bulat. Dengan demikian, Kompas kiblat (Sajadah) tidak direkomendasikan untuk mengukur arah kiblat.

Yogya, awal Mei 2009
Sofwan Jannah